Halaman

Jumat, 30 Desember 2011

Tradisi Meniup Terompet







Perayaan tahun baru masehi di seluruh dunia dihiasi dengan aneka ragam kegiatan. Diantaranya dengan menyalakan api unggun beserta iringan musik,  nongkrong di pinggiran jalan atau alun-alun, dan sebagainya. Meskipun  macet, sesak, ramai dan tidak nyaman, masyarakat rela untuk merayakan tahun baru di jalan. Di tempat itu mereka meluapkan kegembiraan seolah-olah baru saja memenangkan pertandingan Sea Games.

Mengapa malam pergantian tahun harus meniup terompet, padahal tidak ada  peraturan untuk meniup terompet, hal itu hanya tradisi masyarakat yang turun menurun. Meskipun terompet tersebut hanya dipakai satu malam bahkan hanya berapa jam, masyarakat tetap membelinya demi merayakan tahun baru.


Asal Mula Tradisi Meniup Terompet

Sebenarnya budaya meniup terompet merupakan budaya kaum Yahudi saat menyambut tahun baru. Tahun baru mereka jatuh pada bulan ke tujuh sesuai sistem penanggalan mereka. Pada malam tahun barunya, masyarakat Yahudi melakukan introspeksi diri dengan tradisi meniup shofar, sebuah alat musik sejenis terompet.

Terompet sudah ada sejak tahun 1.500 sebelum Masehi. Awalnya, alat musik ini digunakan untuk keperluan ritual agama serta digunakan saat akan berperang. Kemudian terompet dijadikan sebagai alat musik pada masa pertengahan Renaisance hingga saat ini. Begitulah akhirnya terompet menjadi tradisi untuk menyambut malam tahun baru masehi.


Makna Dibalik Terompet

Salah satu hal unik menjelang datangnya malam tahun baru adalah menjamurnya penjualan terompet, baik di pedesaan maupun perkotaaan. Hampir semua orang dari agama apapun meniup terompet pada malam menjelang tahun baru, sampai puncaknya pada tengah malam tahun baru. Hal ini menunjukkan suatu kesamaan tradisi antara penganut agama satu dengan lainya.

Tradisi meniup terompet pada mulanya merupakan cara orang-orang kuno untuk mengusir setan. Seperti halnya Kaum Yahudi, mereka melakukan ritual meniup terompet pada waktu perayaan tahun baru Yahudi, Rosh Hashanah yang berarti “Hari Raya Terompet”,  yang jatuh
pada bulan September atau Oktober. Bentuk terompet yang melengkung melambangkan tanduk domba yang dikorbankan dalam peristiwa pengorbanan Isaac (Nabi Ishaq dalam tradisi Muslim). Hal ini sangat berbeda dengan ajaran Islam yang menetapkan bahwa Nabi Ismail-lah, saudara Nabi Ishaq, yang diminta Allah untuk dikorbankan.

Zaman dulu, terompet terbuat dari kulit kerang dan biasa disebut sangkakala. Sangkakala termasuk perlengkapan perang yang berfungsi sebagai tanda dimulainya atau berakhirnya sebuah peperangan. Lantas, dengan berkembangnya teknologi, sangkakala mengalami perubahan baik dari bahan maupun fungsinya. Dari yang berfungsi sebagai perlengkapan perang berubah sebagai alat musik yang bisa menenteramkan atau sebaliknya membuat emosi dan ujung-ujungnya tawuran.

Sehubungan dengan fungsi terompet untuk merayakan tahun baru, penulis berpendapat bahwa hal itu memiliki makna yang luar biasa bagi kehidupan kita. Sebagaimana fungsi terompet pada masa lalu, yaitu sebagai tanda dimulai dan diakhirinya sebuah peperangan, maka fungsi terompet sekarang untuk sarana berperang melawan fanatisme golongan. Bisa jadi, tiupan terompet menjadi spirit untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, korupsi dan sebagainya.

Ketika semua orang membunyikan terompet, itu pertanda bahwa makna toleransi telah digelorakan. Terompet menjadi simbol toleransi bagi semua umat manusia. Jadi, sudah saatnya kita membumikan toleransi lewat terompet yang ditiupkan pada malam tahun baru.



Spirit Toleransi

Bunyi terompet yang bersahut-sahutan pada malam tahun baru, biasanya diikuti dengan pesta petasan dan kembang api. Dalam tradisi Cina, membunyikan terompet merupakan ritual untuk mengusir setan. Hal ini bisa kita jadikan semangat bahwa bunyian terompet adalah untuk mengusir rasa fanatisme dan membuka diri untuk saling menghormati satu sama lain.

Tidak seperti tradisi dalam agama lain, Islam tidak pernah menjadikan tahun baru sebagai sebuah hari raya, termasuk tahun baru Hijriah sekalipun. Meski di Indonesia tahun baru Hijriah merupakan hari libur nasional, tetapi kedudukannya tetap bukan hari raya. Jika Islam sendiri tidak pernah merayakan tahun baru, maka mengapa umat Islam turut pula mengikuti perayaan yang merupakan tradisi agama-agama lain? Bukankah Nabi Muhammad telah mengingatkan bahwa mereka yang ikut-ikut tradisi suatu kaum, maka ia termasuk dalam golongan kaum itu?

Terlepas dari larangan di atas, idealnya agama tidaklah untuk membatasi dan mempersulit kegiatan umatnya. Namun, semua agama harus meringankan umatnya dalam konteks kehidupan secara luas, termasuk tradisi meniup terompet, apakah itu dilarang atau tidak.

Bagi penulis, meniup terompet sebagai wujud kegembiraan adalah hal yang wajar. Meniup adalah wujud kebangkitan. Bisa dianalogikan bahwa untuk menyambut tahun baru, sebagai warga negara yang peduli akan perubahan, maka kita harus bangkit dari kebodohan, kemiskinan, dan budaya korup, serta peperangan.

Meniup terompet adalah wujud kepedulian terhadap toleransi antar semua golongan, tanpa mempermasalahkan suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia. Karena tidak ada aturan baku, maka seluruh umat agama di Indonesia merayakan malam tahun baru dan meniup terompet dengan tujuan merayakan tahun baru sebagai permulaan menjalani hidup satu tahun kemudian.

Jadi, sudah saatnya kita sebagai warga negara meniupkan terompet untuk perdamaian dan semangat pluralisme tanpa memandang latar belakang golongan. Dan mudah-mudahan dengan hal kecil ini akan tercipta sebuah perubahan besar, yakni perdamaian dan spirit toleransi di Indonesia.

Perayaan tahun baru sangat relevan untuk mengembalikan kesadaran toleransi bangsa Indonesia. Sebab, sampai detik ini, konflik, terorisme, tawuran, menfitnah, dan menghasut masih terus bergejolak tiada akhir. Contohnya, konflik antar suku di lampung, serangan atas masyarakat sipil oleh militer di mesuji lampung beberapa waktu lalu, serta kericuhan pilkada di Papua barat masih diwarnai dengan kekerasan, serta bom yang terjadi di gereja solo kemarin menunjukkan masih minimnya toleransi diantara sesama.

Itulah sebabnya mengapa tahun baru patut dirayakan tidak hanya di negara barat, melainkan juga seluruh elemen di negeri ini. Setidaknya, kita bisa mengambil spirit toleransi yang tersimpan
dalam ritual tahun baru. Spirit toleransi itu dapat kita lihat dalam perayaan tahun baru dengan ramai meniupkan terompet bersama masyarakat luas. Berkumpul bersama dalam bingkai kebersamaan dan toleransi.

Nilai-nilai tersebut harus ditanamkan dalam setiap diri kita dan masyarakat Indonesia, terutama dalam menyikapi kemajemukan. Gusdur mengemukakan bahwa, “Manusia yang peduli toleransi, ialah yang dapat membangun dasar bagi suatu masyarakat yang beradab”. Spirit saling menghormati harus dibangun sejak dini dengan cara apapun. Hal itulah kemudian mengapa tahun baru patut kita rayakan dengan semangat perdamaian.

Ibarat sebuah rumah, ritual tahun baru adalah bangunan besar yang dihuni oleh beragam orang yang berbeda-beda. Semua penghuni memiliki kebebasan dengan saling menghargai satu sama lain.  Hal itu menjadi cerminan bahwa spirit toleransi sudah menjadi milik mayoritas masyarakat Indonesia.

Kita harus banyak belajar dari berbagai pihak dalam menyikapi keberagaman. Dalam konteks keindonesiaan yang multi etnis dan agama, kita dituntut untuk lebih dewasa dan profesional. Bukan sekadar merayakan tahun baru saja, tetapi harus didorong semangat persatuan demi tewujudnya tatanan masyarakat yang mengutamakan tenggang rasa, keadilan, perdamaian, dan toleransi.

Berpijak dari itu, mari kita jadikan tahun baru kali ini menjadi momentum untuk mengakhiri semua prasangka buruk dan mulai menumbuhkan spirit menghargai perbedaan dalam keberagaman (Bhinneka Tunggal Ika).

Karena itu, dengan spirit tahun baru 2012 semua pihak perlu melakukan perubahan. Upaya perbaikan perlu dilakukan di semua hal, khususnya yang menyangkut segala aspek persatuan, demi mewujudkan cita-cita bangsa, yakni masyarakat adil makmur. Semoga dalam memasuki tahun baru 2012, kita semua memiliki komitmen sama untuk saling menebarkan keselamatan dan kedamaian bagi semua, amin.

--------------------------------------------------------

sumber: http://hminews.com/opini/terompet-dan-spirit-toleransi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar