Halaman

Rabu, 07 September 2011

Sejarah Musik Arab

Tidak lama setelah Islam meluas keseluruh apa yang lazim disebut "Orient”, bangsa Arab, dengan bertolak dari nilai-nilai budaya Yunani, mengembangkan seni dan ilmu pengetahuan sedemikian rupa, sehingga bangsa Arab ketika itu dapat dianggap sebagai bangsa yang paling beradab di dunia. Di zaman kekuasaan Harun al-Rasyid (768-809 M) kota Baghdad menjadi pusat dari kebudayaan Islam. Sekitar tahun 800, Harun al-Rasyid menugaskan tiga ratus ilmuan untuk mengumpulkan naskah-naskah ilmiah Yunani. Kemudian setelah itu, al-Makmun, putra Harun al-Rasyid, mendirikan "Bait al-Hikmah” serta menugaskan para ilmuan dan seniman terkenal untuk menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab.

Dalam bidang musik, menurut Farmer, beberapa tulisan dari tokoh-tokoh Yunani seperti Aristoxenos, Euklid, Ptolomeus, Nikomachus, dan Aristides Quintilianus telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab. Tidak diketahui apakah tulisan-tulisan ini masih ada, namun dapat dipastikan bahwa hampir semua ahli-ahli teori musik Arab abad pertengahan menguasai teori musik Yunani, dan dalam karya-karya mereka dipaparkan "sistema ametabolon”, ketiga ragam (Geschlechter) "enharmonikon, "chromatikon”, dan "diatonon”, demikian pula berbagai pembagian "tetrachord” yang berasal dari tradisi musik Yunani.
Kendati demikian, dalam teori musik Arab terdapat pembagian-pembagian tetrachord yang tidak terdapat pada teori musik Yunani. Maka dapat disimpulkan bahwa ahli-ahli teori musik Arab tidak hanya mengambil alih teori musik Yunani, tapi juga mengembangkan teori musik tersebut menurut kebutuhan mereka sendiri. Perbedaan lain yang menonjol adalah kenyataan bahwa bangsa Yunani memaparkan sistem nadanya pada Monochord, sementara bangsa Arab melakukan hal yang sama pada alat musik ‘Ud. Terkecuali Safi al-Din, selain memaparkan sistem 17 nadanya dalam "al-Risala al-Sarafiyya” pada ‘Ud, ia juga memaparkan sistem 17 nada tersebut dengan Monochord dalam "Kitab al-Adwar”.

Dari daftar para ahli teori musik yang tercantum dalam lampiran di bawah ini, secara singkat dapat dikemukakan bahwa sistem nada dari al-Maushili, Yahya ibn ‘Ali, Ikhwan al-Shafa, al-Kindi dan Safi al-Din,

[1] seluruhnya didasarkan pada apa yang disebut sistem Pythagoras.

[2] Berbeda dari para ahli teori musik tersebut, al-Farabi dan Ibnu Sina, disamping menggunakan nada-nada Pythagoras, ternyata memakai nada-nada lain yang tidak terdapat pada teori musik Yunani. Secara singkat, dapat dikemukakan bahwa tangganada dari al-Maushili, Yahya ibn ‘Ali dan Ikhwan al-Shafa (ketiganya adalah sama) seperti nampak pada contoh A, tangganada dari al-Kindi dan Safi al-Din adalah seperti nampak pada contoh B dan C, sedangkan tangganada dari al-Farabi dan Ibnu Sina seperti pada contoh D dan E.

[A] c d es e f g as a bes c
[B] c des d es e f ges g as a b c
[C] c des es2 d es fes e f ges as2 g as bes2 a bes ces des2 c
[D] c d (27/22) f g (18/11) bes c
[E] c d (13/12) f g (39/32) bes c

Seperti kita lihat di atas, tangga nada dari al-Maushili, Yahya ibn ‘Ali dan Ikhwan al-Shafa terdiri dari 9 nada, tangga nada dari al-Kindi terdiri dari 12 nada (!) dan tangga nada dari Safi al-Din terdiri dari 17 nada. Sedangkan tangganada dari al-Farabi dan Ibnu Sina dikemukakan hanya dalam maqam "Rast” saja untuk menunjukkan bahwa kedua ahli teori musik ini, di samping menggunakan nada-nada Pythagoras, juga memakai nada-nada lain, yang di atas dinyatakan dengan memberikan perbandingan frekwensi dari nada-nada tersebut; al-Farabi 27/22 dan 18/11 dan Ibnu Sina 32/12 dan 39/32 untuk terz dan sext.

Perlu digarisbawahi bahwa al-Kindi, sudah sejak abad ke-IX telah memperkenalkan apa yang dewasa ini disebut sebagai tangga nada "chromatis”

[3] sementara di Barat-Eropa sendiri, pembagian nada penuh (ganston) itu dalam dua setengah nada baru dilakukan oleh Johan de Garlandia untuk pertama kalinya sekitar tahun 1300. Malahan Safi al-Din sudah memakai 17 nada dalam satu oktav, yang dalam perkembangannya kemudian dilanjutkan oleh Yekta Bey, Suphi Ezgi, Uzdilek, Ezgi dan Barkechli sampai menjadi 24, 29, 41 dan 53 nada dalam satu oktav. Namun demikian, semua tangga nada dari para teoretikus ini didasarkan pada sistem Pythagoras. Berlainan dengan tokoh-tokoh tersebut, al-Farabi dan Ibnu Sina, seperti telah dikemukakan di atas, memakai juga nada-nada di luar sistem Pythagoras. Hal inilah yang menunjukkan ciri khas musik Arab.
Syahdan, seorang pemain ‘Ud kaliber atas (meninggal pada tahun 791) menentukan dalam maqam Rast pemakaian suatu "fret” yang kemudian disebut fret dari Zalzal (Wosta dari Zalzal) yang perbandingannya dengan nada dasar (mutlak) 27/22. Adalah sebuah tindakan bersejarah dari al-Farabi yang menghidupkan terz dan sext dari Zalzal tersebut dalam teori musiknya. Maqam Rast tersebut dalam bentuknya yang sederhana (dalam hal ini disebut juga ‘Ussaq) adalah sebagai berikut; c-d-e-f-g-a-bes-c, jadi sama dengan modus Micolydis dari tangganada gereja. Sesudah Zalzal orang menginginkan terz dan sext yang lain, sehingga rast tersebut sebenarnya tidak dapat dipraktekkan dalam tanggganada dari al-Maushili, Yahya ibn ‘Ali dan Ikhwan al-Shafa. Seperti kita lihat di atas, maqam Rast tersebut pada al-Farabi adalah; c-d-27/22-f-g-18/11-bes-c, sementara pada Ibnu Sina; c-d-13/12-f-g-39/32-bes-c. Maqam Rast tersebut pada al-Farabi dan Ibnu Sina dapat dikatakan berdekatan, sedangkan pada Safi al-Din sudah jauh berbeda. Terz dan sext tersebut bila dinyatakan dengan "cent” pada al-Farabi 355 dan 853, pada Ibnu Sina 342 dan 840, maka kedua interval tersebut pada Safi al-Din menjadi 384 dan 882. Dengan demikian, pada abad pertengahan terdapat dua aliran; sistem al-Farabi/Ibnu Sina dan sistem Safi al-Din. Kenyataan ini menimbulkan konsekwensi tersendiri dalam perkembangan teori musik Arab dewasa ini.

Sistem dari al-Farabi dan Ibnu Sina bila dicarikan kompromi dalam alat musik yang memiliki nada-nada tetap (seperti qanun, santur, dan piano) otomatis menimbulkan apa yang disebut seperempat nada, sehingga dalam satu oktav terdapat 24 nada.

[4] Jadi apabila para teoretikus musik dari Turki dan Iran memegang teguh pada pembagian oktav dalam 17 nada, maka itu tidak lain bahwa mereka berpegang teguh pada sistem nada Safi al-Din. Sedangkan bila ahli-ahli teori musik dari Mesir dan Siria tidak berkeberatan mengaplikasikan pembagian oktav dalam 24 nada, maka itu berarti mereka berpegang pada sistem nada al-Farabi/Ibnu Sina.
Dalam konteks pembicaraan mengenai musik Arab, ada baiknya dikemukakan bahwa jauh sebelum timbulnya agama Islam, bangsa Arab telah memiliki tradisi musik tersendiri. Kendati demikian, tidak dapat dinafikan bahwa teori musik maupun prakteknya dalam sejarah bangsa Arab baru mencapai puncak perkembangannya setelah agama Islam mengepakkan sayapnya ke seluruh apa yang biasa disebut sebagai "Orient”, bahkan sampai ke semenajung Iberia dan negeri Andalusia.
Poin lain yang perlu diperhatikan adalah, bahwa sejak kemunculan Islam (bahkan sampai saat ini), selalu ada pemuka-pemuka agama yang merestui pemakaian musik dalam ibadah, tapi ada pula yang secara terang-terangan melarangnya. Fakta ini sebenarnya cukup dramatis, oleh karena di dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits tidak terdapat penjelasan spesifik yang melarang ataupun yang menganjurkan penggunaan musik dalam ibadah. Namun terlepas dari polemik pro dan kontra tersebut, musik Arab ternyata terus berkembang, termasuk musik yang dikategorikan sebagai musik religius.
Dalam keterangan sebelumnya, telah disinggung bahwa pada zaman Harun al-Rasyid kota Baghdad merupakan pusat dari aktifitas kebudayaan Islam. Di istana Harun al-Rasyid sendiri bertugas seorang seniman musik kenamaan, yaitu Ishaq al-Maushili. Dia mempunyai seorang murid yang berbakat, yaitu Ziryab. Karena bakat sang murid ini begitu menonjol, al-Maushili khawatir sang murid akan menggusur posisinya. Maka al-Maushili menyarankan agar Ziryab meninggalkan Baghdad. Untuk menghindari permasalahan dengan gurunya, maka Ziryab pergi ke Cordova dan mendirikan sekolah musik di sana, sehingga di Cordova musik Arab pun mengalami perkembangan.
Musik Arab menampakkan diri sebagai musik vokal dan instrumental maupun paduan dari keduanya; sebagai musik profan maupun musik religius. Tapi satu karakteristik dari semua ekspresi musik Arab adalah bahwa semua ragam dari musik Arab didasarkan pada prinsip maqam, yaitu sistem pemakaian berbagai modus.

Sebagai contoh dari musik profan dapat dikemukakan dua bentuk musik vokal dengan iringan alat musik, yaitu "al-Maqam al-‘Iraqi” dan "Andalusia Nuba”. Yang pertama, seperti nampak pada namanya, berasal dari Baghdad, sedangkan yang kedua berasal dari Andalusia (Cordova). Ketika bangsa Arab harus meninggalkan semenajung Spanyol, "Andalusia Nuba” ini kemudian tersebar di Maroko, Algeria, Tunisia, dan Libia. Bentuk-bentuk musik lain yang bersifat profan antara lain muwassah (di bagian Timur semenanjung Arab), dor (Mesir), nyayian fgiri (Musik penangkap ikan di sekitar teluk Arab), qasida (juga dikenal di Indonesia), layali dan mawal. Sedangkan bentuk musik instrumental yang dapat diidentifikasi antara lain; taqsim dan samai, di mana si pemain musik menunjukkan keterampilannya, baik dalam mengembangkan maqam, maupun dalam permainan alat musik.

Adapun bentuk musik religius dapat disebut sebagai nyanyi-nyanyian, baik yang merupakan pembacaan al-Qur’an maupun nyanyian-nyanyian yang berkaitan dengan perayaan Islam. Namun demikian, perlu dikemukakan bahwa orang Arab sendiri (atau orang Islam) tidak menyebut yang demikian itu sebagai nyanyian. Al-Qur’an misalnya, di samping dapat dibacakan saja, dapat pula dibawakan dalam bentuk nyanyian dengan memenuhi semua syarat-syarat musikal (seperti pemakaian maqam dll.) yang diperlukan oleh musik. Namun orang yang membawakan al-Qur’an dengan gaya yang disebut terakhir ini ternyata tidak disebut sebagai penyanyi (mughanni), tetapi sebagai pembaca (muqri’). Bentuk musik religius lain yang dapat disebutkan adalah azan, yang diucapkan dari minaret, dan acap mengembangkan suatu maqam tertentu secara memesona dan mengagumkan. Selain itu, terdapat "madih al-nabawi”, yaitu suatu bentuk nyanyian yang merupakan pujian kepada Nabi dan keluarganya. Yanyian yang berkaitan dengan kelahiran Nabi (maulid) dapat dikategorikan sebagai madih nabawi.

Deskripsi di atas hanya menyinggung sekelumit dari aspek musik Arab. Bagaimanapun, pembahasan mengenai musik Arab tidak mungkin dapat secara tuntas dibicarakan dalam satu ceramah. Kendati demikian, beberapa segi yang telah dikemukakan di atas mudah-mudahan dapat menggerakkan hati kita untuk secara serius memperdalam pengetahuan kita mengenai musik Arab serta melihat kemungkinan untuk menekuni musiknya secara praktis. Kita dari dunia ketiga yang terbiasa memandang Eropa sebagai individu dan bangsa yang superior, sebetulnya sedikit banyak dapat merasa bangga, setelah mengetahui, bahwa bangsa Arab, sebagai representasi dari bangsa non-Eropa (baca; Orient), pernah lebih maju secara kultural ketimbang bangsa Eropa.
 [1] Abd al-Qadir, Anonymus dan al-Ladiqi hanya melakukan komentar pada sistem dari Safi al-Din, sedangkan Mihail Misaqa, seorang ahli teori musik zaman baru, memaparkan sistem seperempat nada atau sistem 24 nada.  
[2] Dalam sistem nada Pythagorean, perbandingan nada-nada hanya memakai proporsi dari angka dua dan tiga. 
[3] Tangga nada "chromatis” adalah tangga nada yang memiliki rangkaian 12 nada dalam satu oktav. 
[4] Sebuah sistem nada yang dikemukakan oleh Misaqa. Lihat catatan kaki sebelumnya.

---------------------------------------------------------------------

Buat yang ada tugas tentang sejarah musik Arab, silahkan copy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar